Generasi Z adalah mereka yang lahir di tengah teknologi, tumbuh bersama internet, dan hidup dalam dunia serba cepat. Mereka tak pernah mengalami zaman Orde Baru, tak menyaksikan langsung turunnya Soeharto, dan hanya mengenal Reformasi dari buku sejarah atau potongan video dokumenter. Lalu, pertanyaannya: apakah semangat Reformasi masih relevan untuk generasi ini?
Reformasi dan Generasi yang Tidak Mengalaminya
Bagi banyak Gen Z, Reformasi adalah masa lalu yang asing. Mereka lahir setelah era perubahan besar itu terjadi. Namun justru karena itu, penting bagi generasi ini untuk memahami bahwa kebebasan yang mereka nikmati hari ini—dari memilih presiden secara langsung, menyuarakan opini di media sosial, hingga mengakses informasi tanpa batas—semua itu adalah hasil perjuangan panjang generasi sebelumnya.
Reformasi bukan sekadar pergantian presiden; ia adalah perubahan sistematis atas cara kita bernegara. Demokrasi yang kini dianggap biasa, dulunya adalah barang mewah. Menjaga warisan itu adalah tugas setiap generasi, termasuk Generasi Z.
Tantangan Baru, Format Baru
Meski Gen Z tak lagi menghadapi represi politik seperti dulu, mereka menghadapi tantangan baru: disinformasi, polarisasi digital, dan kejenuhan politik. Banyak dari mereka merasa politik tidak relevan, terlalu kotor, atau terlalu rumit. Tapi justru karena itu, keterlibatan mereka dibutuhkan.
Generasi Z punya keunggulan: melek teknologi, kreatif, dan cepat beradaptasi. Jika dulu Reformasi disuarakan lewat orasi di jalanan, kini bisa diperjuangkan lewat konten edukatif, podcast politik, atau kampanye digital. Format boleh berubah, tapi semangatnya tetap sama: membuat negara ini lebih baik.
Ketika Demokrasi Tidak Lagi Sekadar Hak Pilih
Reformasi memberi hak pilih, tapi demokrasi bukan hanya soal mencoblos lima tahun sekali. Demokrasi adalah tentang memastikan suara rakyat didengar setiap saat. Dan Gen Z bisa berperan di sini—dengan menjadi jurnalis warga, aktivis komunitas, pembuat konten, atau bahkan wirausaha sosial.
Saat generasi sebelumnya bertarung demi kebebasan berbicara, Gen Z hari ini bertugas menggunakan kebebasan itu dengan bijak. Menggunakan media sosial bukan untuk menyebar kebencian, tapi untuk membangun dialog. Menyuarakan ketidakadilan bukan dengan emosi semata, tapi dengan data dan solusi.
Warisan yang Butuh Dijaga
Reformasi adalah warisan. Tapi warisan bisa hilang kalau tak dijaga. Kita sudah melihat bagaimana kebebasan bisa terkikis perlahan—dengan regulasi yang mengekang, dengan pembatasan informasi, atau dengan apatisme publik. Jika Gen Z memilih diam, maka mereka ikut membiarkan Reformasi pudar.
Oleh karena itu, relevansi Reformasi tidak ditentukan oleh waktunya, tapi oleh cara kita meresponsnya. Semangatnya masih relevan, jika kita bersedia merawatnya.
Dari Meja Kelas ke Panggung Publik
Banyak yang mengira bahwa Reformasi hanya urusan politik. Tapi sejatinya, Reformasi menyentuh setiap aspek kehidupan: pendidikan, ekonomi, budaya, hingga ruang digital. Generasi Z yang sekarang duduk di bangku sekolah atau kuliah sedang berada dalam masa pembentukan nilai. Di sinilah pentingnya pemahaman sejarah, bukan hanya untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pijakan berpikir dan bertindak.
Di kampus, Gen Z bisa memulai Reformasinya sendiri: memperjuangkan kurikulum yang lebih relevan, menolak intoleransi, dan memaksimalkan forum diskusi mahasiswa. Di sekolah menengah, mereka bisa mulai bertanya lebih kritis, menyusun opini, dan belajar memahami isu-isu yang berkembang. Dari ruang kelas, semangat Reformasi bisa menjalar ke masyarakat.
Internet: Arena Baru Perjuangan
Di masa lalu, senjata utama Reformasi adalah poster, pamflet, dan pengeras suara. Kini, alat itu berganti menjadi media sosial, video pendek, dan thread panjang yang viral. Generasi Z adalah penghuni utama jagat maya. Dengan kekuatan jari dan koneksi internet, mereka bisa memengaruhi opini publik, menggalang petisi, hingga memviralkan isu yang dianggap penting.
Namun di balik kemudahan itu, tersembunyi tantangan besar: derasnya arus informasi, sebagian besar tidak diverifikasi. Gen Z harus belajar memilah mana yang fakta dan mana yang propaganda. Jika tidak, mereka bisa menjadi korban disinformasi atau bahkan menyebarkannya tanpa sadar. Reformasi hari ini bukan hanya tentang membangun sistem, tapi juga membangun kesadaran digital.
Politik Bukan Lagi Hal Tabu
Dulu, berbicara politik dianggap tabu, berbahaya, bahkan bisa berujung represi. Tapi sekarang, politik menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kebijakan pemerintah menyentuh semua aspek: dari harga BBM, sistem pendidikan, hingga kebebasan berekspresi. Gen Z tidak bisa menghindar dari politik karena mereka adalah bagian dari rakyat yang terdampak.
Masalahnya, banyak dari mereka merasa politik terlalu kotor. Kecurangan pemilu, janji manis saat kampanye yang tak ditepati, hingga dominasi elite lama membuat Gen Z kehilangan kepercayaan. Tapi menjauhi politik bukanlah solusi. Justru dengan terlibat, mereka bisa menjadi agen perubahan dari dalam: menjadi relawan pemilu, aktif di organisasi sosial, atau bahkan mencalonkan diri suatu saat nanti.
Membumikan Isu Reformasi
Isu Reformasi sering dianggap terlalu besar atau jauh dari kehidupan sehari-hari. Padahal, ia bisa dibumikan dalam tindakan kecil: menolak intoleransi di lingkungan, bersuara atas ketidakadilan di sekolah, mendukung produk lokal, atau mengedukasi teman tentang hak dan kebebasan warga negara. Setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan semangat perubahan adalah bagian dari Reformasi.
Sebagai contoh, ketika seorang siswa menolak diskriminasi terhadap temannya karena perbedaan keyakinan, itu sudah menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem yang tidak adil. Ketika mahasiswa menuntut transparansi penggunaan dana organisasi, itu sudah menjadi praktik Reformasi dalam skala mikro.
Reformasi sebagai Identitas
Ada satu hal yang perlu dipahami: Reformasi bukan hanya masa lalu, tapi identitas bangsa. Ia adalah cermin bahwa bangsa ini mampu berubah, bahwa rakyat bisa bersuara, dan bahwa demokrasi layak diperjuangkan. Jika Gen Z merasa tidak memiliki hubungan dengan Reformasi, maka mereka sedang melepaskan satu bagian penting dari identitas nasional mereka.
Mengingat Reformasi bukan sekadar ritual mengenang, tapi sebuah ajakan untuk terus berproses. Ia bukan monumen diam, tapi gerakan yang terus hidup dalam semangat, sikap, dan pilihan hidup setiap individu. Dan bagi Gen Z, itu bisa dimulai dengan bertanya: apa yang bisa aku lakukan hari ini untuk menjadikan negeri ini lebih adil dan demokratis?
Mendorong Inovasi Sosial
Gen Z juga dikenal sebagai generasi yang inovatif. Banyak dari mereka memulai inisiatif sosial sejak muda: membangun komunitas peduli lingkungan, mengadakan kelas daring gratis, hingga membuat startup berbasis kepedulian sosial. Semua itu adalah manifestasi dari semangat Reformasi yang diwujudkan dalam bentuk baru.
Reformasi tidak harus selalu berhadapan dengan parlemen atau unjuk rasa. Ia bisa hadir dalam aplikasi yang mempercepat pelayanan publik, dalam kanal YouTube yang menyuarakan aspirasi marjinal, atau dalam forum komunitas yang menghidupkan diskusi lintas budaya.
Masa Depan Reformasi di Tangan Gen Z
Pada akhirnya, masa depan Reformasi bergantung pada siapa yang akan menjalaninya. Generasi Z adalah penerus tongkat estafet ini. Apakah mereka akan menjadi generasi yang apatis atau progresif sangat ditentukan oleh bagaimana mereka memahami sejarah dan merespons masa kini.
Ketika generasi sebelumnya berjuang untuk membuka pintu demokrasi, kini giliran Gen Z menjaga agar pintu itu tidak tertutup kembali. Mereka harus menjadi penjaga yang siaga, bukan penonton yang pasif. Karena sekali kita lengah, kebebasan bisa terkikis pelan-pelan.
Penutup
Reformasi masih relevan. Ia relevan selama masih ada ketimpangan. Ia penting selama masih ada suara rakyat yang terabaikan. Dan ia mendesak selama masih ada ketidakadilan yang belum diselesaikan.
Generasi Z bukan generasi yang kehilangan arah. Mereka hanya perlu diingatkan bahwa sejarah bukan untuk dilupakan, tapi untuk dijadikan kompas. Dan semangat Reformasi adalah arah yang harus terus diperjuangkan.
Penulis: Theresia Verina, Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Editor: Darsono
Bahasa: Rahmat Al Kafi