Dua Wajah Pilkada: Ketika Anggit Didiskualifikasi, Ome Justru Dimaklumi

Sumardi Bung Black
Penulis: Sumardi Bung Black (Pemerhati Politik dan Masyarakat Kota Palopo)

Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan hasil Pilkada Pasaman dan memerintahkan pemungutan suara ulang tanpa keikutsertaan Anggit Kurniawan Nasution, publik menyaksikan ketegasan hukum.

Anggit, mantan terpidana, tidak mengumumkan status hukum masa lalunya secara terbuka. Pelanggaran itu dianggap cukup serius untuk mendiskualifikasinya, bahkan setelah pemilu selesai.

Namun di sudut lain Indonesia, Kota Palopo menyajikan cerita berbeda. Ahmad Syarifuddin Daud (Ome) juga seorang mantan terpidana, tidak mengumumkan statusnya saat pencalonan. Tapi alih-alih didiskualifikasi, ia justru diberi ruang oleh KPU RI untuk “melengkapi berkas.”

Bukankah ini bentuk perbaikan administrasi? Dan bukankah perbaikan merupakan bagian dari proses verifikasi, yang menurut putusan Mahkamah Konstitusi sendiri, tidak berlaku lagi bagi dirinya?

Inilah dua wajah Pilkada kita: satu keras, satu lunak. Padahal semangat hukum seharusnya satu — melindungi integritas pemilu, bukan memberi pintu belakang bagi yang tak patuh sejak awal.

Putusan MK No. 87/PUU-XX/2022 sudah sangat jelas: mantan terpidana wajib mengumumkan statusnya secara terbuka sebagai bentuk keterbukaan kepada pemilih. Bukan sekadar syarat teknis, ini adalah syarat moral. Ketidakjujuran adalah cacat fatal, dan tidak ada ruang kompromi untuk itu.

Kita patut bertanya: mengapa Anggit didiskualifikasi, tetapi Ome justru dilindungi lewat tafsir longgar? Apakah hukum hanya keras ketika sorotan publik tajam, dan lunak ketika perhatian surut? No viral, no justice.

Di tengah krisis kepercayaan terhadap proses pemilu, praktik semacam ini justru menambah luka. Publik butuh kepastian, bukan akrobat tafsir. Jika Anggit harus keluar dari gelanggang karena menutupi masa lalunya, maka Ome pun seharusnya diperlakukan sama. Demi keadilan. Demi konsistensi. Demi Pilkada yang bermartabat.

Privilege kepada Ome adalah bukti yang mendukung ajakan Dedi Sitorus kepada Komisioner KPU RI, Bawaslu dan DKPP serta seluruh Ketua dan Anggota Komisi II DPR RI untuk mundur. Kala itu, anggota Fraksi Demokrasi Indonesia itu menggambarkan secara gamblang borok pilkada serentak 2024. Kini, kesalahan sama pada Pilkada Palopo 2024 terulang kembali di PSU-nya dengan alasan sama dan oleh kubu yang sama. Akibatnya, PSU jilid 2 akan digelar lagi dan tentu jadi beban bagi APBD.

Penulis: Sumardi Bung Black
Pemerhati Politik dan Kemasyarakatan Kota Palopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *