Kesalahan KPU dan Bawaslu Palopo Ditutupi Keputusan KPU Sulsel

Syafruddin Jalal, Pemerhati Politik Hukum Palopo
Syafruddin Jalal, Pemerhati Politik Hukum Palopo

Akhirnya, kesalahan Komisioner KPU dan Bawaslu Palopo dalam proses verifikasi calon pada Pilwali Palopo 2024 seakan tertutupi oleh keputusan KPU Sulsel. Padahal, sejak awal Bawaslu Palopo telah menyatakan bahwa Ahmad Syarifuddin Daud—yang akrab disapa Ome—melanggar persyaratan pencalonan karena tidak mengumumkan statusnya sebagai mantan terpidana.

Sebagaimana diketahui publik, Ome pernah dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Negeri Palopo pada Pilwali 2017 karena melakukan kampanye dengan muatan fitnah. Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 69 UU Pemilihan dan dijatuhi pidana percobaan selama 4 bulan.

Namun, saat kembali mencalonkan diri sebagai Wakil Wali Kota mendampingi Trisal Tahir di Pilwali 2024, Ome tidak mencantumkan status hukuman tersebut dalam dokumen pencalonannya. Kelalaian ini baru terungkap saat pelaksanaan Pemungutan Suara Ulang (PSU), berdasarkan laporan dari seorang warga Kota Palopo, Rezki Adi.

Baca juga: Kisruh Pilkada Palopo: Kelalaian Siapa yang Harus Ditanggung?

Bawaslu Palopo kemudian menindaklanjuti laporan itu dan menyatakan bahwa Ome melanggar syarat pencalonan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Ayat (2) huruf g UU Pemilihan, serta Pasal 14 Ayat (2) huruf f dan Pasal 20 PKPU tentang Pencalonan. Rekomendasi disampaikan kepada KPU sebagai pelanggaran administratif.

Tak bisa dipungkiri, kesalahan ini bersumber dari kelalaian KPU dan Bawaslu Palopo saat proses verifikasi. Kedua lembaga ini seharusnya mengetahui rekam jejak Ome karena peristiwa tersebut terjadi di wilayah kerja mereka, dan menyangkut tindak pidana pemilihan. Sudah semestinya mereka menyimpan salinan putusan tersebut—khususnya Bawaslu yang mengawal proses penegakan hukum pemilu.

Sebagai pembanding, Mahkamah Konstitusi dalam Pilkada Serentak 2024 telah mendiskualifikasi Anggit Kurniawan Nasution, Calon Wakil Bupati Pasaman, karena tidak mengumumkan status terpidananya dalam perkara penipuan. MK menilai ketidakjujuran itu melanggar prinsip pemilu.

Namun, kasus Ome seharusnya dipahami secara berbeda. Meskipun ia memang tidak mengumumkan status terpidananya, ada indikasi bahwa hal itu terjadi karena ketidaktahuan yang bersifat alamiah. Hal ini seharusnya dapat diantisipasi oleh verifikator dan dicegah oleh pengawas. Apalagi, dalam SKCK yang dilampirkan, status hukum tersebut sudah dicantumkan.

Lebih jauh lagi, pernyataan yang menyebabkan Ome dipidana di masa lalu sesungguhnya hanya merupakan opini yang dianggap tidak berbasis bukti, bukan sebuah tindakan kriminal serius yang memalukan. Bahkan masyarakat Palopo pun kemungkinan besar masih mengingat peristiwa tersebut.
Dalam konteks ini, rasanya tidak adil apabila risiko dari kelalaian KPU dan Bawaslu Palopo justru dibebankan sepenuhnya kepada calon.

Baca juga: Haruskah KPU Palopo Patuh Buta pada Rekomendasi Bawaslu? Kasus Ome dan Risiko Anulir Hak Politik Warga

Keputusan untuk memberikan kesempatan perbaikan administratif kepada Ome adalah langkah yang tepat dan adil. Kini, tinggal Ome sendiri yang menentukan: apakah ia akan secara terbuka menyampaikan status terpidananya atau tidak. Tak seorang pun dapat memaksanya.

Yang jelas, keadilan pemilu tidak boleh mengorbankan calon hanya karena penyelenggara lalai menjalankan tugasnya.

Penulis: Syafruddin Jalal
Mantan Ketua KPU dan Panwaslu Kota Palopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *