Haruskah KPU Palopo Patuh Buta pada Rekomendasi Bawaslu? Kasus Ome dan Risiko Anulir Hak Politik Warga

Syafruddin Jalal, Pemerhati Politik Hukum Palopo
Syafruddin Jalal, Pemerhati Politik Hukum Palopo

Publik Palopo hari ini dihadapkan pada satu pertanyaan penting: Apakah KPU Palopo wajib mengeksekusi rekomendasi Bawaslu tanpa pertimbangan? Kasus Ahmad Syarifuddin Daud alias Ome telah menjadi contoh konkret yang perlu dikaji secara jernih.

Bawaslu Palopo merekomendasikan bahwa Ome melakukan pelanggaran administratif karena tidak mengumumkan dirinya sebagai mantan terpidana. Rujukan hukumnya: Pasal 14 huruf (f) dan Pasal 20 PKPU Nomor 8 Tahun 2024. Namun, mari kita lihat lebih dalam — apakah rekomendasi ini tepat?

Fakta hukumnya jelas: Ome dipidana percobaan 4 bulan karena melanggar larangan kampanye pada Pilwalkot Palopo 2017. Ia dijerat Pasal 187 jo Pasal 69 Undang-Undang Pemilihan. Ancaman maksimalnya hanya 18 bulan, dan bukan kejahatan berat, bukan pula kejahatan politik, serta bukan tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih.

Pasal 7 ayat 2 huruf g Undang-Undang Pemilihan dan pasal 14 huruf f PKPU Nomor 8 Tahun 2024 menyebut dengan terang: mantan terpidana hanya dilarang mencalonkan diri jika pernah dijatuhi hukuman atas tindak pidana dengan ancaman lima tahun atau lebih, dan itupun masih bisa dicalonkan asal telah menjalani jeda lima tahun serta mengumumkan statusnya secara terbuka.

Ome tidak masuk dalam kategori itu. Jadi, apakah Bawaslu salah sasaran? Jelas. Mereka keliru menafsirkan norma hukum. Yang lebih mengkhawatirkan, rekomendasi yang keliru ini bisa dijadikan dasar KPU untuk membatalkan pencalonan Ome. Kalau itu terjadi, maka hak politik warga dirampas atas dasar tafsir yang keliru.

Lantas, bagaimana seharusnya KPU Palopo bersikap?

Pertama, KPU bukan sekadar operator tanpa nalar. Mereka juga penyelenggara pemilu yang bertanggung jawab menjaga marwah konstitusi.

Kedua, KPU wajib menelaah isi rekomendasi sebelum menjalankan. Bila ditemukan kekeliruan dasar hukum, KPU punya hak — bahkan kewajiban — untuk tidak mengeksekusi rekomendasi itu secara otomatis.

Ketiga, KPU mesti menyampaikan secara resmi ke Bawaslu bahwa rekomendasi tersebut tidak memenuhi syarat hukum yang tepat.

Bila KPU tetap memaksakan eksekusi, maka mereka bukan hanya melanggar asas keadilan, tetapi juga menjadi bagian dari proses yang mengabaikan prinsip proporsionalitas dan legalitas.

Kasus Ome bukan sekadar soal pribadi. Ini soal prinsip: apakah hak politik bisa dicabut atas tafsir yang keliru? Apakah hukum bisa dijalankan dengan mata tertutup, atau harus dengan akal sehat?

Kita berharap KPU Palopo bertindak bukan hanya sebagai pelaksana, tapi juga sebagai penegak akal sehat pemilu.

Penulis: Syafruddin Jalal
Pemerhati Politik dan Hukum Palopo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *