Reformasi Bukanlah Akhir. Ia adalah Awal yang Belum Selesai.
Sudah lebih dari dua dekade sejak teriakan mahasiswa memenuhi jalanan Jakarta. Mereka turun ke jalan bukan karena ingin menjadi pahlawan, tapi karena merasa masa depan bangsa ini sedang berada di titik nadir. Tanggal 21 Mei 1998 menjadi saksi lahirnya babak baru sejarah Indonesia: Soeharto lengser, dan reformasi dimulai.
Namun, apa kabar reformasi hari ini?
Dari Gerakan ke Harapan
Reformasi hadir bukan dalam ruang kosong. Ia lahir dari amarah rakyat yang lelah hidup dalam sistem yang menindas dan menutup mata terhadap kesengsaraan rakyat. Sebelum reformasi, kehidupan politik kita nyaris tanpa warna. Orde Baru begitu dominan. Pemilu hanya formalitas. Media dibungkam. Aktivis dibungkam. Rakyat pun hanya bisa diam atau menggerutu dalam hati.
Namun, ketika krisis ekonomi Asia menghantam Indonesia di tahun 1997, harga-harga meroket, PHK massal terjadi, dan rakyat mulai kehilangan kesabaran. Ketimpangan ekonomi, korupsi yang menggurita, dan kebijakan otoriter menjadi bahan bakar bagi gelombang kemarahan. Mahasiswa menjadi garda depan, dan rakyat mendukung dari belakang. Hingga akhirnya, Soeharto menyerah.
Lahirnya era reformasi disambut dengan euforia. Seolah-olah setelah itu, segalanya akan membaik. Demokrasi akan hadir, keadilan ditegakkan, dan kekuasaan tidak lagi mutlak. Tapi harapan kadang tak semanis kenyataan.
Reformasi dalam Praktik: Tak Semudah Teori
Memasuki era reformasi, memang banyak hal yang berubah. Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen agar lebih demokratis. Pemilu diadakan secara langsung dan terbuka. Pers bebas berbicara, dan rakyat bebas memilih siapa pun yang mereka inginkan. Lembaga-lembaga seperti KPK, MK, dan Ombudsman dibentuk untuk mengawasi kekuasaan.
Namun, perjalanan reformasi tak selalu lurus. Setelah Soeharto lengser, kita mengalami transisi kekuasaan yang cepat—Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, hingga kini Jokowi. Setiap presiden membawa gaya dan visi masing-masing, tapi persoalan mendasar tak serta-merta menghilang.
Korupsi masih saja ada—dengan wajah baru dan modus yang lebih canggih. Konflik politik sering kali lebih sibuk saling menjatuhkan dibanding memikirkan solusi untuk rakyat. Sementara itu, rakyat kecil masih saja harus berjibaku dengan harga kebutuhan pokok yang tak menentu, lapangan kerja yang terbatas, dan pelayanan publik yang kadang memprihatinkan.
Kebebasan yang Harus Diimbangi Kesadaran
Salah satu pencapaian besar reformasi adalah kebebasan berpendapat. Media massa kini bisa mengkritik pemerintah tanpa takut dibredel. Media sosial menjadi ruang terbuka bagi siapa pun untuk menyuarakan opininya.
Namun, kebebasan juga datang dengan tanggung jawab. Di era digital, kita justru dibanjiri hoaks, ujaran kebencian, dan polarisasi yang mengancam persatuan. Kebebasan yang diperjuangkan dengan darah dan air mata kini sering disalahgunakan untuk menyebar kebencian dan fitnah.
Ironis, bukan?
Generasi Muda dan Beban Sejarah
Sebagai generasi yang lahir setelah reformasi, saya tidak mengalami bagaimana rasanya hidup di bawah kekuasaan tunggal Orde Baru. Tapi saya menikmati hasilnya—bisa memilih, bisa berbicara, bisa bermimpi besar. Itu semua hasil dari keberanian orang-orang yang dulu turun ke jalan.
Namun, apakah kita hanya akan menjadi penikmat hasil reformasi tanpa ikut menjaganya?
Reformasi bukanlah hadiah. Ia adalah warisan, dan warisan harus dijaga. Generasi muda punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa demokrasi tidak mundur, bahwa suara rakyat tetap menjadi landasan utama pengambilan kebijakan, dan bahwa kekuasaan tetap diawasi.
Menjadi apatis terhadap politik adalah bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi. Karena jika kita tak peduli, kekuasaan bisa kembali liar dan melupakan rakyat.
Jalan Masih Panjang
Reformasi memang sudah berjalan 27 tahun, tapi ia belum selesai. Demokrasi kita masih belajar. Keadilan masih perlu ditegakkan. Pemerintah harus terus diawasi. Dan rakyat harus terus disuarakan.
Jangan biarkan semangat reformasi terkubur oleh pragmatisme politik atau rasa puas yang semu. Kita harus terus menagih janji-janji reformasi: keadilan sosial, pemerintahan yang bersih, dan Indonesia yang benar-benar demokratis.
Dan itu hanya bisa terjadi jika kita semua terlibat—tidak diam, tidak takut, dan tidak lupa.
Penutup
Reformasi bukan sekadar peristiwa sejarah. Ia adalah proses panjang yang harus terus diperjuangkan. Ia adalah mimpi tentang Indonesia yang lebih baik—yang bebas, adil, dan sejahtera.
Tugas kita hari ini adalah menjaga nyala itu tetap hidup. Karena jika kita lalai, sejarah bisa berulang. Dan ketika itu terjadi, harga yang harus dibayar akan jauh lebih mahal.
Penulis: Karina Rahmadani
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Editor: Darsono
Bahasa: Rahmat Al Kafi