Reformasi Indonesia, Perjuangan yang Belum Usai

Setelah 3 dekade lebih masa pemerintahan soeharto yang dinilai masyarakat hidup dibawah tatanan militer dan demokrasi yang palsu, akhirnya dapat digulingkan dengan kekuatan solidaritas mahasiswa juga manuver-manuver elite politik di parlemen dan gedung gedung partai. 

Menurut Rahadian Rundjan dalam reformasi tanpa reformis dwifungsi Abri, dominasi Golkar, serta tafsir tunggal pancasila yang menjadi pilar-pilar orde baru dinilai tidaklah ideal bak selimut keangkuhan yang menyelimuti rakyatnya dengan kebijakan opresif dan anti-kritik. 

Reformasi tercipta karena keinginan pembaruan masyarakat dari berbagai aspek, baik politik, sosial, ekonomi, juga kebebasan berpendapat tanpa takut tekanan atau ancaman dari pemerintah. Rahadian menyampaikan bahwa reformasi diharapkan mampu menyajikan perubahan, bersifat korektif, dan bercorak pembaharuan. 

Namun fenomena sosial-politik yang belakangan terjadi justru semakin maraknya politik identitas, hoaks dan persekusi, kasus korupsi yang tiada henti, apalagi fenomena fenomena tersebut didalangi oleh tokoh-tokoh reformasi yang dahulu begitu menjanjikan. Sehingga menjadi pertanyaan apa benar reformasi ini sudah berjalan pada trek yang seharusnya?

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia menyebutkan 27 tahun reformasi, Indonesia mengalami erosi kebebasan politik dan hak-hak sosial. 

Erosi kebebasan politik di Indonesia dapat terlihat dari penurunan kebebasan sipil dan hak politik dimana menurut Freedom House indeks demokrasi Indonesia turun dari skor 62 pada 2019 menjadi 57 pada 2024. Lalu World Press Freedom Index juga mencatat kebebasan pers Indonesia merosot ke posisi 127 dari 180 negara. 

Sedangkan erosi hak-hak sosial terlihat dalam pelanggaran HAM yang dipicu oleh pelaksanaan kebijakan pembangunan, investasi, dan stabilitas politik keamanan. Tokoh-tokoh adat seperti di Sumatera Utara atau masyarakat adat biasa di Halmahera Timur mengalami intimidasi bahkan kriminalisasi atas tuduhan tak berdasar.

Supremasi sipil juga mengalami kemunduran. Revisi UU TNI yang memperluas peran militer dalam urusan sipil jelas melemahkan supremasi sipil bahkan melanggar hak asasi manusia. Militer dapat mengawasi serta membatasi kegiatan-kegiatan sipil, bahkan dapat mengancam serta mengintimidasi. 

Tentu reformasi yang sekarang berjalan juga bukan tidak memiliki dampak positif sama sekali. 27 tahun berlalu banyak manfaat serta kebijakan yang harus kita syukuri berkat reformasi.

Namun masih banyak kekurangan serta celah-celah yang harus kita perbaiki. Tentu dengan dasar niat yang baik, akal sehat, serta memprioritaskan kepentingan negara.

Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Daud jusuf pernah menulis artikel opini yang berjudul ‘Untuk Apa Reformasi?’. Menurutnya reformasi akan sia-sia apabila pemimpin tidak menjawab panggilan tugasnya, yaitu menciptakan harmoni politik dan ekonomi demi kebijakan kedua-duanya. 

Menurutnya harmoni inilah yang menjadi cita-cita para reformis, yaitu harmoni yang lahir dari nilai-nilai demokrasi.

Rezim otoriter memang berhasil digulingkan 27 tahun lalu, tapi reformasi kita belum menemukan bentuk idealnya. Perlu perubahan positif dengan meningkatkan kebebasan pers,  meningkatkan demokrasi, juga reformasi hukum. 

Selain itu peran masyarakat juga sangat penting untuk meningkatkan supremasi sipil. Masyarakat harus mendorong perubahan serta solutif untuk permasalahan-permasalahan yang ada.

Peningkatan komitmen dari seluruh pihak baik pemerintah, masyarakat, bahkan pihak swasta sangat diperlukan untuk menciptakan reformasi yang ideal di Indonesia. Komitmen ini tentunya harus diimplementasikan dengan tindakan nyata seperti implementasi reformasi birokrasi, penguatan penegakan hukum, serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam mengawasi kinerja pemerintah.

Kita semua tahu masih banyak kekurangan dalam reformasi kita meskipun sudah memasuki usia nya yang ke 27 tahun. 

Perjalanan reformasi kita mungkin tidaklah mudah, tidak juga singkat. Ia memerlukan proses yang sulit, diperlukan solidaritas dari seluruh pihak, serta mungkin juga diperlukan waktu yang tidak sebentar. 

Namun kita harus tetap percaya bahwa dengan ketelibatan serta peran seluruh pihak reformasi yang ideal dan seharusnya dapat berjalan di Indonesia. Tugas kita semua untuk terus mendorong dan melakukan tindakan nyata agar semua dapat terwujud.

Penulis: DEVI NURHALIZA
Mahasiswa Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *