Sudah lebih dari seperempat abad sejak Indonesia memasuki era reformasi. Sebuah momentum besar yang dimulai dari gerakan mahasiswa tahun 1998, kini menjadi tonggak sejarah yang tak mungkin dilupakan. Namun, seiring berjalannya waktu, reformasi seringkali menjadi kata yang hampa makna, hanya disebut dalam pidato-pidato kenegaraan, tanpa benar-benar dirasakan dampaknya oleh masyarakat di akar rumput.
Titik Awal dari Sebuah Gejolak
Reformasi bukanlah peristiwa spontan. Ia merupakan akumulasi dari berbagai kekecewaan terhadap pemerintahan yang terlalu lama berkuasa, yang mengabaikan aspirasi rakyat dan menjadikan kekuasaan sebagai alat dominasi. Ketika krisis ekonomi melanda Asia pada akhir 1997, Indonesia berada dalam pusaran kehancuran ekonomi, inflasi tinggi, PHK massal, dan ketimpangan sosial yang semakin menganga.
Di tengah situasi itu, suara mahasiswa menjadi mercusuar perubahan. Demonstrasi terjadi di mana-mana, dari kampus hingga gedung DPR. Tragedi Trisakti menjadi simbol perlawanan. Empat mahasiswa gugur karena peluru, namun nyala perjuangan mereka membakar semangat bangsa. Reformasi pun menjadi tak terelakkan. Soeharto mundur, dan bangsa ini memulai babak baru.
Visi Mulia, Realita Rumit
Reformasi lahir dengan semangat membangun bangsa yang demokratis, adil, dan transparan. Amandemen konstitusi dilakukan, pemilu menjadi lebih terbuka, dan kebebasan pers berkembang. Lembaga antikorupsi didirikan, dan partisipasi publik semakin mendapat tempat.
Namun realitas tak semudah impian. Praktik politik transaksional tumbuh subur. Uang menjadi faktor dominan dalam kontestasi politik. Pemilu tak lagi soal gagasan, tapi logistik. Janji kampanye sering kali tak ditepati. Elite politik silih berganti, tapi persoalan mendasar tetap berulang.
Media Sosial: Pedang Bermata Dua
Era digital membawa warna baru dalam perjalanan reformasi. Media sosial menjadi ruang kebebasan baru. Namun kebebasan ini seringkali disalahgunakan. Disinformasi, polarisasi, hingga ujaran kebencian menjadi ancaman nyata. Ruang publik yang mestinya digunakan untuk berdiskusi, berubah menjadi arena pertikaian dan saling hujat.
Rakyat Masih Menunggu Janji
Masyarakat di pedesaan, para buruh, petani, dan nelayan—mereka yang dulu menaruh harapan besar pada reformasi—kini masih banyak yang hidup dalam kesenjangan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan belum sepenuhnya merata. Birokrasi yang lamban dan budaya koruptif masih menjadi keluhan umum.
Reformasi seharusnya bukan hanya tentang lembaga dan undang-undang, tapi juga tentang perubahan nyata dalam kehidupan rakyat.
Peran Kita Hari Ini
Sebagai generasi yang menikmati buah reformasi, kita punya tanggung jawab untuk tidak membiarkan sejarah ini dikaburkan. Kita tidak boleh hanya menjadi penonton pasif yang sibuk di media sosial, tapi harus menjadi warga negara aktif yang peduli, kritis, dan terlibat dalam proses pembangunan bangsa.
Kita harus mengawal kebijakan, mengawasi wakil rakyat, dan menghidupkan kembali semangat reformasi di setiap ruang kehidupan: di kampus, di tempat kerja, dan di tengah masyarakat.
Menjaga Api yang Tersisa
Reformasi bukan sekadar momen sejarah. Ia adalah proses panjang yang membutuhkan konsistensi, keberanian, dan kejujuran. Jika kita menyerah pada apatisme, maka sejarah akan terulang. Jika kita tutup mata terhadap penyimpangan, maka pengkhianatan terhadap semangat reformasi akan terus terjadi.
Mari jaga api itu tetap menyala. Mari jadikan reformasi bukan hanya cerita, tapi kenyataan yang terus diperjuangkan. Karena bangsa ini belum selesai dibangun.
Penutup
Reformasi adalah warisan sekaligus ujian. Ia memberi kita ruang, tapi juga menuntut tanggung jawab. Di tangan kita, masa depan reformasi akan ditentukan. Apakah ia akan menjadi kenangan yang terlupakan, atau semangat yang terus hidup dalam setiap langkah pembangunan bangsa.
Penulis: Mita Agustina
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang
Editor: Darsono
Bahasa: Rahmat Al Kafi