Reformasi bukan sekadar pergantian pemimpin, tetapi sebuah gerakan besar untuk memperbaiki sistem kehidupan bangsa. Di Indonesia, reformasi menjadi tonggak penting yang membuka pintu bagi demokrasi, keterbukaan, dan partisipasi rakyat dalam pemerintahan.
Namun, pertanyaan penting muncul: Apakah cita-cita reformasi sudah terwujud sepenuhnya? Atau justru kita mulai melupakan nilai-nilai yang dahulu diperjuangkan dengan darah dan air mata?
Apa Itu Reformasi?
Secara sederhana, reformasi adalah proses perubahan yang bertujuan menciptakan perbaikan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari politik, sosial, hingga ekonomi dan keagamaan. Kata “reformasi” berasal dari bahasa Latin reformare, yang berarti “membentuk kembali”.
Berbeda dengan revolusi yang cenderung berlangsung cepat, radikal, dan sering kali diwarnai kekerasan, reformasi dilakukan secara damai, bertahap, dan melalui jalur hukum atau konstitusional. Di titik ini, reformasi sejatinya bukan hanya soal pergantian tokoh, melainkan pembenahan sistem yang korup, tertutup, dan penuh ketimpangan.
Titik Balik: Reformasi Indonesia 1998
Tahun 1998 menjadi saksi perubahan besar dalam sejarah politik Indonesia. Krisis moneter Asia yang menghantam Indonesia pada 1997 memperlihatkan rapuhnya fondasi ekonomi nasional. Rupiah terjun bebas, harga bahan pokok melambung, dan pengangguran melonjak tajam.
Di tengah kekacauan itu, masyarakat mulai menyuarakan ketidakpuasan. Rasa marah menguat karena praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dianggap menjadi penyebab utama rusaknya sistem pemerintahan.
Puncak amarah itu terjadi dalam Tragedi Trisakti pada 12 Mei 1998. Empat mahasiswa Universitas Trisakti tewas ditembak saat berdemonstrasi. Kejadian tersebut menyulut aksi besar-besaran di seluruh penjuru negeri. Ribuan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR, memaksa Soeharto mundur. Dan pada 21 Mei 1998, ia resmi mengundurkan diri.
Siapa Saja yang Berperan?
Gerakan reformasi tak mungkin berhasil tanpa keberanian rakyat. Mahasiswa menjadi ujung tombak perubahan. Dengan poster sederhana dan semangat membara, mereka menantang rezim otoriter dengan tangan kosong.
Selain itu, tokoh masyarakat, aktivis, LSM, media massa, dan elemen sipil lainnya bahu-membahu menjaga agar aspirasi rakyat tidak padam. Nama-nama seperti Amien Rais, Megawati Soekarnoputri, dan Gus Dur menjadi bagian dari barisan yang mendorong terbukanya ruang demokrasi.
Capaian Reformasi: Apa yang Sudah Berubah?
Dua dekade lebih berlalu sejak reformasi bergulir. Beberapa capaian positif yang tak bisa dipungkiri antara lain:
– Pemilu langsung: Presiden, gubernur, bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat.
– Batas masa jabatan: Presiden hanya bisa menjabat maksimal dua periode.
– Kebebasan pers: Media lebih bebas dalam memberitakan isu politik dan sosial.
– Lembaga antikorupsi: Hadirnya KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi.
– Otonomi daerah: Pemerintah daerah punya wewenang lebih besar dalam mengelola wilayahnya.
Namun, semua itu belum cukup. Perjalanan reformasi masih panjang dan penuh tantangan.
Tantangan yang Masih Menghantui
Meski sistem pemerintahan kini lebih demokratis, praktik KKN belum benar-benar musnah. Skandal demi skandal masih muncul, bahkan melibatkan pejabat tinggi. Transparansi kadang masih sebatas slogan, dan hukum sering kali tumpul ke atas, tajam ke bawah.
Bahkan kebebasan berpendapat yang diperjuangkan melalui reformasi kini mulai mendapat tekanan kembali. Kasus kriminalisasi aktivis, pembatasan ruang diskusi, dan maraknya ujaran kebencian di media sosial jadi alarm bahwa demokrasi kita belum sepenuhnya sehat.
Reformasi Sosial: Perubahan di Masyarakat
Reformasi juga mendorong tumbuhnya kesadaran kritis di tengah masyarakat. Dulu, rakyat sulit bersuara karena takut. Sekarang, siapa pun bisa menyampaikan pendapat—baik lewat media sosial, aksi demonstrasi, maupun jalur hukum.
Namun, keterbukaan ini harus dibarengi dengan kedewasaan. Demokrasi bukan hanya tentang bicara bebas, tetapi juga tentang tanggung jawab. Di sinilah tantangan generasi muda: menjaga semangat reformasi tanpa terjebak pada euforia kebebasan yang kebablasan.
Suara Kaum Muda: Energi Baru Reformasi
Hari ini, reformasi bukan lagi milik mereka yang turun ke jalan pada 1998. Ia kini menjadi tanggung jawab generasi baru—generasi yang lahir setelah Soeharto lengser. Generasi yang melek teknologi, cepat tanggap, dan berani bersuara.
Tapi, apakah cukup dengan sekadar mengkritik di Twitter atau membuat tagar viral?
Tentu tidak. Reformasi harus diwujudkan dalam tindakan nyata: berani jujur, menolak korupsi, aktif dalam kegiatan sosial, serta terus belajar dan peduli terhadap kondisi bangsa. Menjadi mahasiswa yang peduli, pekerja yang bertanggung jawab, pemimpin yang tidak haus kuasa—itulah wajah baru reformasi.
Catatan untuk Masa Depan
Reformasi adalah proses panjang yang tidak pernah selesai. Ia seperti tanaman yang butuh disiram terus-menerus. Jika kita lengah, tanaman itu akan layu dan mati. Maka dari itu, kita tidak boleh puas hanya karena demokrasi sudah hadir.
Kita harus bertanya: Apakah demokrasi itu sudah adil? Apakah rakyat kecil bisa menikmati hasilnya? Apakah aparat hukum sudah benar-benar berpihak pada kebenaran? Jika belum, berarti perjuangan belum selesai.
Menjaga Api Reformasi Tetap Menyala
Kini, tugas kita bukan hanya mengingat sejarah reformasi, tapi juga melanjutkannya. Membangun Indonesia bukan tugas pemerintah semata. Ini tugas kita semua, dari mahasiswa, pekerja, guru, petani, hingga pejabat.
Reformasi adalah tentang suara rakyat. Tentang keberanian untuk mengubah. Dan tentang harapan akan Indonesia yang lebih baik—lebih jujur, lebih terbuka, dan lebih manusiawi.
Penulis: Sindi Santika
Mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Panulang
Editor: Darsono
Bahasa: Rahmat Al Kafi