Pengantar, Mengapa Taiwan?
Ridho Irawan (37 tahun) merupakan seorang entrepreneur teknologi asal Jakarta yang sudah belasan tahun berkecimpung di pengembangan perangkat lunak dan bisnis digital. Pada 2014 Ridho mengelola jaringan social media dengan >17 juta followers sebelum akhirnya diakuisisi oleh Grup Djarum.
Tahun-tahun berikutnya Ridho mendirikan Umroh.com, platform reservasi group travel yang juga terafiliasi dengan para pendiri Tiket.com dan Gojek. Visi kami berkembang: menjadi operating system global bagi perjalanan group, khususnya di negara mayoritas muslim seperti di Indonesia, Pakistan, India, Mesir, Turki, hingga Nigeria.
Ketertarikan Ridho pada geopolitik dan teknologi mengantarkan saya pada sebuah negara yang dijuluki “Silicon Shield”, yakni Taiwan, yang ketahanan ekonomi & politiknya berbasiskan ekspor teknologi tinggi, yakni microchip. Rasa kekaguman Ridho atas Taiwan mendorong-nya mengikuti Asia Business Case (ABC) Program. Undangan resmi dari NTU untuk student exchange & field trip 13-17 Januari 2025 merupakan kesempatan langka belajar langsung di Taipei.
Misi Analisis Studi Kasus
ABC mempertemukan 36 mahasiswa MBA dari NTU (Taiwan), SolBridge (Korea), dan Prasetiya Mulya (Indonesia) selama tiga bulan. Kami dibagi dalam enam tim lintas negara untuk menyelesaikan studi kasus tiga perusahaan Taiwan, Heroic Faith (AI med-tech), Ideal Venture Studio (VaaS), dan Chun Shui Tang (F&B). Tujuannya: memberikan rekomendasi profesional dan, yang relevan untuk tulisan ini, membandingkan strategi bisnis lintas negara.
Peserta diminta mengurai model bisnis, rantai nilai, serta opsi ekspansi ketiga perusahaan di atas, kemudian membandingkannya dengan ekosistem bisnis Korea & Indonesia. Hasil akhirnya berupa consulting report dan presentasi eksekutif .
Taiwan: Fokus Ceruk Pasar & Orientasi Ekspor
Taiwan ibarat toko kecil yang menjual barang super-spesifik ke seluruh dunia. Mengapa strategi ini muncul, dan bagaimana cara kerjanya?
1. Pasar domestik kecil, harus cari pembeli global
Dengan penduduk ‘hanya’ ± 23 juta, jika perusahaan hanya mengandalkan konsumen lokal, skala bisnis terbatas. Maka, sejak awal banyak startup Taiwan menargetkan pasar AS, Eropa, atau Tiongkok. Contoh: Heroic Faith meluncurkan penjualan pertamanya di rumah-sakit AS dan sudah merancang kemitraan masuk pasar Tiongkok.
2. Pilih “ceruk teknologi” yang sulit ditiru
Alih-alih bersaing di produk massal murah, Taiwan menekuni area bernilai tambah tinggi-semikonduktor, sensor medis, perangkat IoT, dsb.
Contoh: Heroic Faith fokus pada stetoskop elektronik berbasis AI; Ideal Venture Studio menjadi one-stop inkubator teknologi untuk pasar Asia Tenggara.
3. Ekosistem super-efisien
Di sekitar Hsinchu & Taipei, pabrik komponen, lembaga R&D, sampai agensi ekspor berkumpul rapat. Akibatnya, desain-prototype-produksi bisa dipangkas jadi hitungan minggu, kecepatan ini krusial ketika bersaing global.
4. Standar kualitas “world-class” sejak hari pertama
Karena targetnya rumah-sakit AS atau korporasi multinasional, startup Taiwan langsung mengikuti regulasi FDA, ISO, hingga sertifikasi keamanan data. Ketika kembali melayani pasar domestik, produknya otomatis berkelas tinggi.
5. Peran pemerintah & universitas
Kebijakan insentif pajak R&D serta dukungan inkubator kampus (mis: NTU Garage) membuat biaya percobaan teknologi relatif murah dan risiko bisa dibagi.
Pelajaran untuk kita: Ukuran bukan takdir; fokus tajam dan disiplin ekspor bisa mengalahkan keterbatasan sumber daya.
Baca juga: Hipmi Jaktim: Membangun Ekosistem Kewirausahaan yang Inklusif dan Berkelanjutan
Korea: Skala & Integrasi Lewat Chaebol
Bayangkan Korea Selatan sebagai pabrik super-terpadu yang berani menggelontorkan dana besar demi menguasai industri strategis. Cara kerjanya bisa dipecah menjadi lima poin mudah:
- Chaebol, yakni mesin pertumbuhan. Chaebol (Samsung, Hyundai, LG, SK) beroperasi layaknya “kerajaan bisnis”, mereka punya anak-usaha dari hulu sampai hilir. Contoh: Samsung merancang chip, memproduksi sendiri, bahkan memasarkannya lewat ponsel Galaxy.
- Taruhan jangka panjang. Karena modalnya tebal, chaebol berani investasi miliaran dolar pada teknologi masa depan (baterai EV, 5G, kapal LNG) meski untungnya baru terasa 5–10 tahun lagi.
- Integrasi vertikal = kontrol mutu & biaya. Semua tahapan, R&D, bahan baku, pabrik, distribusi, sering dikelola in-house. Ini membuat Korea cepat merespons gangguan rantai pasok, sekaligus menekan biaya karena volume produksi raksasa.
- Negara sebagai “pelatih”. Pemerintah memberi arah industri (roadmap semikonduktor, kendaraan listrik) plus insentif pajak & dana riset. Tujuannya: mengurangi ketergantungan pada impor teknologi.
- Budaya kecepatan Konsep ppalli-ppalli (“cepat-cepat”) mendorong perusahaan bergerak agresif: siklus produk pendek, keputusan manajerial cepat, dan revisi strategi tanpa takut gagal.
Pelajaran untuk kita
Berani bermimpi besar. Visi berpuluh-puluh tahun perlu dibarengi modal, riset, dan keberanian ambil risiko.
Bangun rantai pasok kuat. Meski tidak harus dimiliki semua, pastikan mitra lokal solid agar produksi lancar.
Kecepatan + disiplin. Kombinasi keputusan cepat dan kontrol mutu ketat membuat produk Korea disegani di luar negeri.
Baca juga: Reformasi Belum Tuntas: Pemerintahan Dinilai Masih Hadapi Tantangan Tata Kelola
Indonesia: Pasar Raksasa, Potensi Kelas Dunia
Indonesia ibarat toko serba ada dengan 280 juta pelanggan, peluangnya besar, tetapi tantangannya juga banyak. Berikut uraian sederhananya:
- Domestik dulu, ekspor belakangan. Banyak startup sukses karena pasar lokal luas (Tokopedia, Gojek). Namun, kecenderungan “cukup laku di rumah” kerap membuat standar produk tidak disiapkan untuk bersaing global.
- Sumber daya melimpah. Nikel, sawit, pariwisata halal, populasi muda digital, semua bisa jadi basis daya saing bila diolah fokus. Contoh: ekosistem kendaraan listrik dari cadangan nikel Sulawesi.
- Tantangan infrastruktur & regulasi. Logistik mahal, birokrasi beragam antar-daerah, dan kepastian aturan sering berubah. Ini membuat ongkos ekspor atau skala nasional lebih tinggi dibanding tetangga.
- Fragmentasi ekosistem. UKM dan industri besar jarang terhubung dalam satu kluster seperti Hsinchu (Taiwan) atau Suwon (Korea). Akibatnya transfer teknologi dan efisiensi berjalan lambat.
- Aset digital & ekonomi syariah. Penetrasi internet >77%, populasi Muslim terbesar dunia. Bidang seperti halal travel platform, fintech syariah, dan edutech Qur’an adalah “ceruk global” yang Indonesia bisa pimpin.
Langkah praktis agar Indonesia bisa meniru keberhasilan Taiwan/Korea:
- Fokus pada niche global. Pilih satu segmen unik, misalnya halal group travel (Umroh.com), agritech tropis, atau chips “secure enclave” berbasis nikel, lalu garap mendalam.
- Standar ekspor sejak hari pertama. Gunakan sertifikasi internasional (ISO, FDA-setara, PCI-DSS) agar saat mau go-global, produk tidak perlu overhaul.
- Bentuk kluster kolaborasi. Satukan startup, universitas, pabrik, dan investor di satu kawasan/vertikal supaya ide cepat diuji, prototipe cepat diproduksi.
- Manfaatkan kebijakan & insentif. Dorong regulator memberi fast-track perizinan dan tax holiday sektor prioritas (contoh: data center “green” atau battery refining).
- Bangun reputasi lewat pilot project luar negeri. Mulai dari satu pasar ekspor yang punya diaspora Indonesia (mis. Malaysia, Timur Tengah) untuk menguji produk sambil meraih kredibilitas global.
Baca juga: REI Kalbar Cari Pemimpin Masa Depan, M. Nasir: Harus Visioner dan Mampu Bangun Sinergi
Penutup: Menjembatani Dunia Lewat Konektivitas
Saya selalu percaya teknologi dapat “menyatukan lebih banyak orang” melalui konektivitas yang lebih baik. ABC Program menunjukkan bahwa apa pun ukuran atau sejarah negara, strategi yang terfokus, ekosistem kolaboratif, dan orientasi pasar global adalah resep umum menuju daya saing berkelanjutan.
Tantangannya kini ada di tangan kita, mengadaptasi pelajaran Taiwan dan Korea ke konteks Indonesia, agar perusahaan-perusahaan lokal, termasuk Umroh.com, bisa melompat dari pemain domestik menjadi champion kelas dunia.
Penulis: Ridho Irawan
Mahasiswa Universitas Prasetiya Mulya
Editor: Rahmat Al Kafi





