Opini  

PoliceTube: Ketika Kekuasaan Bertutur lewat Kamera

Ketika Kekuasaan Bertutur lewat Kamera
Sumber: https://www.policetube.com/.

Surabaya, 2 Juli 2025 – Saat scrol di Instagram dan menemukan berita berbentuk meme tentang website baru yang agak why, yaitu situs baru kepolisian mirip Youtube bernama PoliceTube, ketika membuka situs tersebut, saya jadi berpikir, “Jika pada masa Orde Baru kekuasaan berbicara lewat teks pidato dan media massa satu arah, maka di era digital hari ini, kekuasaan berbicara lewat video berdurasi 3 menit dengan musik optimistis dan narasi penuh senyum”.

Salah satu wajah yang bagus dari transformasi komunikasi kekuasaan milik pemerintah, situs ini berisi banyak video yang di-upload Divisi Humas Polri di berbagai wilayah yang dirancang menyerupai YouTube. Melalui platform ini, kita disuguhi beragam konten yang mengisahkan berbagai gaya konten dan ‘kemanusiaan’ institusi kepolisian.

Mulai dari polisi membantu warga banjir, bakti sosial di desa terpencil, hingga edukasi lalu lintas yang dikemas dalam bahasa santai.

Sekilas, PoliceTube di mata saya tampak seperti strategi modern yang mendekatkan negara ke rakyat. Tapi yang saya pertanyakan apakah itu benar ruang partisipasi publik, atau hanya panggung estetika kekuasaan?

PoliceTube ini posisinya bagian dari tren global di mana institusi negara mengadopsi format dan estetika budaya populer demi membangun legitimasi di tengah masyarakat digital. Konsepnya mirip YouTube, lengkap dengan kanal, kategori, dan antarmuka yang familier bagi generasi muda.

Tapi ketika saya berpikir situs ini membuka ruang diskusi, PoliceTube ini malah lebih mirip media institusional versi digital di mana narasi sepenuhnya dikurasi, dipoles, dan dikendalikan.

Melalui pendekatan Cultural Studies, keadaan ini bisa dibaca sebagai bentuk hegemoni kultural ala Antonio Gramsci: kekuasaan tidak lagi menekan secara vulgar, melainkan membentuk kesadaran melalui narasi yang kelihatannya “wajar”.

Dengan memilih cerita yang membangun citra humanis dan profesional, PoliceTube menciptakan apa yang Gramsci sebut sebagai common sense baru kalau polisi selalu hadir sebagai penyelamat. Namun pertanyaan yang harus kiat kritisi, “siapa yang punya kuasa membentuk narasi? Dan siapa yang terwakili dalam kisah-kisah tersebut?”.

Dalam hampir seluruh konten, para aparat tampil sebagai protagonis utama, aktif, solutif, dan penyayang. Masyarakat sipil, jika pun muncul, lebih sering berada dalam posisi pasif: sebagai penerima bantuan, bukan sebagai subjek yang berdaya.

Sementara itu, representasi kelompok marjinal, perempuan, masyarakat adat, atau suara kritis, nyaris absen. Inilah bentuk realitas yang dibentuk dengan satu wajah: bersih, positif, terkontrol.

Bagi Stuart Hall, representasi bukan sekadar cerminan dunia nyata, tetapi konstruksi makna. Ketika media negara hanya memilih narasi-narasi tertentu, maka yang terjadi adalah pemutusan atas keberagaman realitas sosial. PoliceTube bukan mencerminkan kenyataan, melainkan menciptakan kenyataan versi kekuasaan.

Hal ini diperkuat oleh kerangka Michel Foucault: bahwa media seperti PoliceTube adalah mesin produksi wacana, tempat “kebenaran” didefinisikan oleh siapa yang berhak berbicara. Di sini, hanya negara yang menjadi narator sah. Partisipasi publik hanya diterima sejauh ia tidak mengganggu narasi utama.

Secara teknis, masyarakat bisa mengunggah konten ke PoliceTube. Namun faktanya, semua materi harus melalui proses moderasi. Akibatnya, ruang partisipasi berubah menjadi simulasi demokrasi, di mana rakyat tampak terlibat, padahal wacananya sudah dibatasi.

Ini seperti panggung teater: penonton bisa datang dan bertepuk tangan, tapi naskah tetap ditulis oleh sang aktor utama. Padahal dalam komunikasi yang sehat, partisipasi berarti keterlibatan dalam membentuk narasi, bukan sekadar hadir di layar.

Jika PoliceTube hanya menjadi etalase institusi tanpa ruang negosiasi makna, maka ia gagal menjawab tantangan zaman digital yang menuntut keterbukaan dan keberagaman suara. Menariknya, bentuk-bentuk resistensi terhadap narasi dominan muncul, tapi bukan dari dalam PoliceTube.

Ia lahir di sosial media lain seperti di Twitter, TikTok, bahkan dalam meme yang menyindir keberadaan platform ini. Ini menunjukkan bahwa publik tidak sepenuhnya diam. Mereka membangun counter-narrative yang berlawanan, sebagai bentuk kritik atas komunikasi satu arah.

Baca Juga: Sebut Prabowo Penculik Aktivis 98, Koran Achtung Segera Dilaporkan TKN ke Polisi

Dalam konteks ini, pemikiran Dick Hebdige tentang subkultur menjadi relevan: resistensi terhadap kekuasaan sering kali hadir secara simbolik, dalam bentuk ironi, satire, atau budaya alternatif. Media sosial menjadi ladang perlawanan simbolik terhadap representasi kekuasaan yang seragam.

Tentu, negara berhak membangun kanal komunikasi publik. Namun kanal ini harus benar-benar publik, bukan hanya dalam akses, tapi juga dalam struktur dan semangatnya. Komunikasi digital tidak bisa dibatasi hanya untuk memperindah citra.

Ia harus menjadi ruang negosiasi wacana, di mana kritik dan suara minoritas juga punya tempat. Sebagai netizen, kita jangan hanya jadi konsumen pasif.

Tapi juga perlu menggandakan cermin, yaitu menciptakan ruang-ruang alternatif yang bisa menampilkan wajah sosial dari berbagai sudut. Media warga, kanal kolektif, jurnalisme warga, semua bisa menjadi penyeimbang atas dominasi narasi resmi.

PoliceTube mungkin dibentuk dengan niat baik. Namun niat saja tidak cukup. Tanpa keterlibatan publik secara sejati, platform ini hanya akan jadi kanal satu arah dengan tampilan dua arah. Jika negara ingin dipercaya, maka ia harus berani mendengar, bukan hanya bicara.

Karena di era algoritma, kekuasaan bukan lagi soal siapa yang paling keras bersuara. Tapi siapa yang berani membuka ruang untuk suara yang berbeda.

Penulis: Obi Riyanto Nugroho (NBI: 1152200240)
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas 17 Agustus 1945

Dosen Pengampu: Dr. Merry Fridha, M.Si.

Editor: Ika Ayuni Lestari
Bahasa: Rahmat Al Kafi

Sumber:

Kompas.com. . (2023). Polri Luncurkan PoliceTube, Media Informasi Berbasis Audiovisual. → Berita peluncuran resmi PoliceTube oleh Divisi Humas Polri.

CNN Indonesia. (2023). PoliceTube Tuai Kritik, Netizen Pertanyakan Transparansi dan Anggaran. → Merangkum kritik publik terhadap PoliceTube.

Nugroho, Yanuar. (2012). Citizens in @ction: Digital Media and Political Engagement in Indonesia. Manchester: Manchester Institute of Innovation Research.

McChesney, Robert W. Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Times. New Press, 1999.

Gramsci, Antonio. Selections from the Prison Notebooks. New York: International Publishers, 1971.

Hall, Stuart. Representation: Cultural Representations and Signifying Practices. London: Sage/Open University, 1997.

Foucault, Michel. Power/Knowledge: Selected Interviews and Other Writings 1972–1977. New York: Pantheon Books, 1980.

Jenkins, Henry. Convergence Culture: Where Old and New Media Collide. New York: NYU Press, 2006. Tentang media digital, partisipasi, dan budaya populer.

Kellner, Douglas. Media Culture: Cultural Studies, Identity and Politics Between the Modern and the Postmodern. Routledge, 1995. Bhabha, Homi K.

 

 

Ikuti berita terbaru di Google News

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *