PEMILUNEWS.COM – Hiruk pikuk pencalonan Bakal Calon Kepala Daerah, baik untuk Calon Gubernur, Walikota dan Bupati akhir-akhir ini menjadi topik yang menarik dan selalu menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Terlebih munculnya Koalisi Indonesia Maju (KIM Plus) yang terdiri dari 12 partrai politik dianggap sebagai upaya untuk menjegal calon-calon tertentu. Namun, MK melalui putusannya Nomor 60/PUU-XXII/2024 dianggap membawa “harapan baru“ baru bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
Harapan tinggallah harapan, Panitia Kerja Badan Legislasi DPR RI berupaya untuk mengakali putusan MK tersebut melalui rapat yang diselenggarakan tanggal 21 Agustus 2024. Tulisan ini mencoba untuk melakukan kajian terhadap apa yang dilakukan oleh Panja Baleg DPR RI tersebut berdasarkan sudut pandang hukum tata negara dan perkembangan demokrasi di Indonesia, dengan mengaitkan pada undang-undang yang berlaku di Indonesia, kita harus memperhatikan beberapa aspek utama. Selain itu juga peran Mahkamah Konstitusi (MK) dalam sistem hukum Indonesia, pembahasan tentang ambang batas (threshold) pencalonan kepala daerah, serta dampak dari keputusan ini terhadap perkembangan demokrasi di Indonesia. Analisa juga akan melihat bagaimana Panitia Kerja (Panja) Badan Legislasi (Baleg) DPR RI mencoba untuk menanggapi atau mengatasi putusan MK tersebut.
Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) adalah landasan hukum yang mengatur mekanisme dan persyaratan pemilihan kepala daerah di Indonesia. Salah satu ketentuan yang diatur dalam UU Pilkada adalah mengenai ambang batas (threshold) untuk pencalonan kepala daerah, yang selama ini mensyaratkan bahwa partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki minimal 20 persen kursi di DPRD atau memperoleh 25 persen suara sah dalam Pemilu Legislatif untuk dapat mencalonkan kepala daerah.
BACA JUGA: Tetap Ikuti Hasil Putusan MK, PDIP Masih Isyaratkan Usung Anies Baswedan pada 27 Agustus
Namun, ketentuan ini telah menjadi subjek perdebatan karena dianggap menghambat proses demokrasi yang sehat dengan berpotensi memunculkan calon tunggal, yang tentunya bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi yaitu adanya pilihan bagi rakyat. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 memutuskan untuk melonggarkan ketentuan threshold tersebut.
Peran Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Hukum Indonesia
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem hukum Indonesia yang berperan sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, membubarkan partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu, dan memutus perkara impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Dalam konteks UU Pilkada, putusan MK terkait pelonggaran threshold pencalonan kepala daerah merupakan manifestasi dari peran MK sebagai pengawal konstitusi. MK dalam putusannya menginterpretasikan ketentuan hukum yang berlaku agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusional, terutama dalam menjaga kesehatan demokrasi di Indonesia.
Analisa Hukum Tata Negara: Threshold Pencalonan Kepala Daerah
Dari perspektif hukum tata negara, threshold dalam pencalonan kepala daerah berfungsi sebagai mekanisme untuk memastikan bahwa calon kepala daerah memiliki dukungan politik yang cukup signifikan sebelum mereka maju ke pemilihan umum. Tujuan dari adanya threshold ini adalah untuk menghindari fragmentasi politik yang dapat menghambat proses pemilihan yang efektif dan efisien. Namun, di sisi lain, threshold yang terlalu tinggi dapat mengakibatkan berkurangnya partisipasi politik dan memunculkan calon tunggal, yang justru merugikan prinsip demokrasi.
Dalam putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024, MK menilai bahwa threshold 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg tidak sesuai dengan prinsip demokrasi yang sehat karena cenderung memonopoli partai besar dan mengurangi kesempatan partai kecil atau calon independen untuk berkompetisi secara adil. Oleh karena itu, MK memutuskan untuk menyamakan threshold pencalonan kepala daerah dari partai politik dengan threshold pencalonan kepala daerah jalur independen.
Putusan MK ini mengandung makna penting dalam konteks pengembangan demokrasi di Indonesia. Dengan menyamakan threshold antara calon dari partai politik dan calon independen, MK berupaya menciptakan kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif, sehingga demokrasi di tingkat daerah dapat berjalan lebih sehat.
Tanggapan Panja Badan Legislasi DPR RI
Namun, berita tersebut menunjukkan bahwa Panja Baleg DPR RI mencoba untuk mengakali putusan MK dengan membuat aturan baru dalam revisi UU Pilkada yang membatasi pelonggaran threshold tersebut hanya untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD. Ketentuan ini menjadi ayat tambahan pada Pasal 40 revisi UU Pilkada yang dibahas oleh Panja dalam waktu singkat.
Tindakan Panja ini dapat dilihat sebagai bentuk resistensi terhadap putusan MK yang seharusnya bersifat final dan mengikat. Dalam perspektif hukum tata negara, upaya Panja untuk mengubah ketentuan yang sudah diputuskan oleh MK dapat dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip supremasi hukum. MK adalah lembaga yang berwenang untuk menafsirkan konstitusi dan keputusannya seharusnya dihormati oleh seluruh lembaga negara, termasuk DPR.
Dampak Terhadap Demokrasi di Indonesia
Dari perspektif perkembangan demokrasi, upaya Panja untuk membatasi pelonggaran threshold hanya pada partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD berpotensi menghambat perkembangan demokrasi yang inklusif. Salah satu tujuan dari pelonggaran threshold adalah untuk memastikan bahwa demokrasi memberikan kesempatan yang sama bagi semua partai politik, baik besar maupun kecil, serta bagi calon independen. Dengan adanya pembatasan seperti yang diusulkan oleh Panja, kesempatan tersebut menjadi tereduksi.
Lebih lanjut, tindakan Panja ini dapat memunculkan persepsi negatif terhadap integritas proses legislasi di Indonesia. Masyarakat mungkin melihat bahwa keputusan yang seharusnya final dan mengikat, seperti putusan MK, dapat diakali oleh legislatif melalui perubahan undang-undang yang cepat dan tidak transparan. Ini berpotensi merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi dan supremasi hukum.
Hubungan dengan UU yang Berlaku di Indonesia
UU Pilkada yang ada saat ini adalah hasil dari serangkaian revisi yang bertujuan untuk menyempurnakan proses pemilihan kepala daerah di Indonesia. UU Pilkada harus sesuai dengan UUD 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin oleh konstitusi. Putusan MK merupakan bagian dari upaya untuk memastikan bahwa UU Pilkada tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan bahwa pelaksanaannya mendukung pengembangan demokrasi yang sehat.
Namun, revisi UU Pilkada oleh Panja Baleg DPR RI yang mencoba mengakali putusan MK dapat dilihat sebagai tindakan yang bertentangan dengan semangat konstitusi. Pasal 24C UUD 1945 memberikan kewenangan kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, dan putusannya bersifat final dan mengikat. Oleh karena itu, upaya Panja untuk membatasi pelonggaran threshold dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945.
Penulis menyimpulkan bahwa putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengenai pelonggaran thresholdpencalonan kepala daerah adalah langkah yang tepat dalam rangka mendukung pengembangan demokrasi yang sehat di Indonesia. Putusan ini berupaya menciptakan kompetisi politik yang lebih adil dan inklusif dengan menyamakan threshold antara calon dari partai politik dan calon independen.
Namun, upaya Panja Baleg DPR RI untuk mengakali putusan MK dengan membatasi pelonggaran threshold hanya untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD adalah langkah yang tidak sesuai dengan prinsip supremasi hukum dan dapat merusak perkembangan demokrasi di Indonesia. Tindakan ini menunjukkan adanya resistensi terhadap putusan MK yang seharusnya dihormati oleh seluruh lembaga negara, termasuk legislatif.
Dari perspektif hukum tata negara, tindakan Panja ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip konstitusional yang diatur dalam UUD 1945. Oleh karena itu, revisi UU Pilkada yang sedang dibahas harus dilakukan dengan memperhatikan putusan MK dan prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin oleh konstitusi, guna memastikan bahwa proses pemilihan kepala daerah di Indonesia berjalan secara adil, transparan, dan demokratis.
Pengembangan demokrasi yang sehat di Indonesia memerlukan komitmen dari seluruh lembaga negara untuk menghormati supremasi hukum dan memastikan bahwa proses legislasi dilakukan dengan transparansi dan akuntabilitas, sehingga dapat menciptakan kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi di Indonesia.
Penulis: Sukardi (Akademisi Fakultas Syariah IAIN Pontianak)