KPU, MA  

Fenomena Dampak (Jika) KPU Membangkang Putusan MA (Perkara Nomor 24 P/HUM/2023)

NIDIA CANDRA SH
NIDIA CANDRA SH, Praktisi Hukum serta Pemerhati Demokrasi Kalbar.

NIDIA CANDRA. SH, sebagai Praktisi Hukum dan Pemerhati Demokrasi Kalimantan Barat, sangat menyayangkan sikap KPU RI yang mana hingga sampai hari ini belum melakukan Revisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, pasca Putusan MA perkara nomor 24 P/HUM/2023 itu pada hari Selasa (29/8/2023). Tentang Uji Materi Minimal 30% Keterwakilan Perempuan, Uji Materi agar Pasal 8 ayat 2 Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dinyatakan bertentangan dengan Pasal 245 UU Pemilu dan UU Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, KPU tidak bergeming untuk melakukan revisi atau perpaikan atas PKPU a quo.

Bahwa hal demikian menciptakan fenomena baru dalam lembaran sengketa Pemilu 2024 kedepan, karena potensi sengketa akan meluas hingga seluruh Indonesia.

Adapun amar Putusan Mahkamah Agung secara tegas menyatakan:

“Menyatakan Pasal 8 ayat (2) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal penghitungan 30 persen jumlah bakal calon perempuan di setiap daerah pemilihan menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas” sehingga Pasal a quo selengkapnya berbunyi: Pasal 8 ayat (2) : “Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas”.

Bahwa KPU dalam Pengumuman DCS pada tanggal 19 Agustus 2023, saya tidak melihat adanya pengumuman dari KPU tentang pengumuman presentase keterwakilan perempuan per dapil dalam setiap PartaiPolitik dari DCS DPR RI, DCS DPRD Provinsi hingga DPRD Kabupaten/Kota sehingga adanya indikasi  pelanggaran terhadap PKPU terkait, yang mengakibatkan 17 partai politik tidak memenuhi kuota 30 persen perempuan pada 290 dapil untuk DPR RI, 860 Dapil DPRD tingkat provinsi, dan 6.821 Dapil DPRD tingkat kabupaten/kota.

Dari berbagai berita Nasional, KPU sempat berjanji akan merevisi aturan itu. Ketua KPU menyatakan bahwa sepakat akan mengubah penghitungan 30 persen keterwakilan perempuan di setiap dapil, nantinya penghitungan akan menggunakan pembulatan ke atas jika menghasilkan angka pecahan, dan akan segera melakukan perubahan Pasal 8 Ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu 10 Mei 2023. Akan tetapi KPU batal merevisi aturan itu setelah berkonsultasi dengan Komisi II DPR RI sepekan kemudian.

Sejak dikeluarkannya putusan MA ini diumumkan, PKPU Nomor 10/2023 kehilangan kekuatan hukum yang mengikat. Berdasarkan PKPU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2024, tahap pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, masih berjaan sehingga masih ada waktu bagi setiap Partai Politik untuk melakukan perbaikan dari 24 April 2023 hingga 25 November 2023 untuk memperhatikan keterwakilan perempuan di setiap Daerah Pemilihan (Dapil) selama KPU belum menetapkan Daftar Calon Tetap (DCT) pada tanggal 4 November 2023.

Berdasarkan analisis dan asas-asas hukum yang berlaku sebagai Negara Hukum, Jika KPU RI membangkang PAsca Putusan MA a quo, dengan tidak merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, akan memunculkan Fenomena baru sengketa Pemilu 2024, Fenomena baru tersebut mulai akan terjadi ketika Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU Kabupaten Kota dan KPU Provinsi mengumumkan hasil Berita Acara penghitungan perolehan suara setiap dapilnya dari Dapil DPRD Kabupaten/Kota hingga dapil DPRD Provinsi, dimana dalam pengumuman a quo telah diperoleh perolehan suara terbanyak bagi Partai Politik hingga Suara terbanyak bagi setiap calegnya, apabila perolehan suara terbanyak diperoleh Partai Politik dan calegnya memiliki suara terbanyak, akan tetapi Partai Politik tersebut dalam pengajuan Calegnya dari DCS hingga DCT dalam dapil dimaksud tidak memenuhi persyaratan keterwakilan perempuan 30% sehingga ada indikasi bahwa Partai Politik yang memperoleh suara terbanyak dalam dapil dimaksud dari awal pencalegkannya tidak memenuhi persyaratan mangajukan caleg sebagaimana yang ditentukan dalam UU Pemilu berdasarkan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang Pemilu mengatur Daftar calon memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan.

Bahwa jika demikian, ada persoalan hukum yang akan terjadi yaitu  “pemenang perolehan suara terbanyak oleh partai politik dalam dapil dimaksud ternyata cacat formil karena tidak memenuhi persyaratan yang disebutkan dalam UU Pemilu” hal demikianlah yang saya sebut dengan FENOMENA BARU DALAM LEMBARAN SENGKETA PEMILU 2024, karena ada persoalan hukum yang perlu diuji di BAWASLU hingga di Pengadilan Negeri ataupun di  Pengadilan Tata Usaha Negara hingga dimungkinkan sampai di Peradilan Mahkamah Agung.

Bahwa fenomena persyaratan caleg yang cacat formil tersebut akan membuka peluang atau celah hukum yang pastinya akan dimanfaatkan oleh Partai Politik lainnya maupun caleg lainnya, dimana Partai Politik beserta caleg lainnya yang merasa telah memenuhi persyaratan 30% keterwakilan perempuan akan tetapi tidak memperoleh suara terbanyak atau tidak mendapat kursi, mereka akan berusaha untuk menggugurkan atau membatalkan keterpilihan Partai Politik beserta calegnya yang memeproleh suara terbanyak dalam dapilnya, sehingga akan terjadi potensi sengketa baru baik di Kalbar maupun seluruh Indonesia.

Menurut pendapat saya, sebagai Praktisi Hukum serta sebagai Pemerhati Demokrasi Kalbar dan Indonesia, sebaiknya dan sepantasnya serta patut berdasarkan hukum KPU RI sebagai penyelenggara Pemilu melakukan Revisi  Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD dalam melaksanakan Putusan Mahkamah Agung nomor 24 P/HUM/2023 tentang Uji Materi Minimal 30% Keterwakilan Perempuan, agar tidak terjadi kekacauan yang berpotensi terjadinya banyak sengketa akibat pembangkangan oleh KPU RI, yang dimana yang akan menjadi korban dalam Fenomena ini adalah Partai Politik yang memeperoleh suara terbanyak dalam setiap dapil masing-masing.

Semoga Tulisan ini menjadi salah satu acuan rekomendasi dukungan untuk dilakukannya Revisi  Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD.

Salam Pemilu Damai dan berintegritas Pemilu 2024.

NIDIA CANDRA, SH, Praktisi Hukum serta Pemerhati Demokrasi Kalbar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *